Oleh: propbiyang | Oktober 27, 2008

KEJAWEN: SUATU SISTEM ISLAM….

KEJAWEN: SUATU SISTEM ISLAM SEBAGAI SOLUSI TANTANGAN ZAMAN
Oleh: Ir. Achmad Chodjim Shaleh, MM*

Semula judul yang diminta oleh Panitia adalah Islam Kejawen sebagai Solusi Tantangan Zaman. Untuk menghindari salah pengertian bahwa ada “agama Islam Kejawen” di luar agama Islam maka judul makalah diubah sebagai tersebut di atas. Sebelum masuk ke isi pokok makalah ini, perlu diperhatikan benar makna Kejawèn dan Islam yang menjadi landasan penulisan makalah ini.

Kejawèn  [penulisan selanjutnya Kejawen] merupakan kata jadian yang dibentuk dari unsur kata ke+Jawi+an dan diucapkan ke-ja-wèn. Kata kejawèn sebagai istilah tidak ditemukan dalam kamus Basa Jawa. Bila kosa kata ini ditemukan dalam kamus, artinya justru daerah istimewa di Jawa atau daerah raja-raja Jawa, dan biasanya entri kata ini disamakan dengan kejawan. Dalam kamus Jawa Kuna, entri kejawan memiliki arti menjadi orang Jawa atau kejawa-jawaan (menyerupai perilaku orang Jawa).

Entri kata jawi tidak ditemukan di dalam kamus (bausastra) Jawa Kuna, tetapi ada di dalam kamus Jawa Baru yang merupakan kata halus atau krama dari kata Jawa, yang artinya orang atau bahasa Jawa. Meskipun tidak ada istilah kejawèn dalam berbagai kamus Jawa, namun sudah menjadi pendapat umum bahwa Kejawen atau yang sering disebut Islam Kejawen adalah agama Islam yang bersumber dari Alquran, Hadis, Ijma Ulama, dan Kias.[i]

Berdasarkan hasil studi karya seni sastra Jawa abad XVIII yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zoetmulder (Manunggaling Kawula Gusti, 1995), Simuh (Mistik Islam Kejawen, 1988), dan Niels Mulder (1985), Kejawen merupakan perkawinan tradisi Islam dengan Hindu – Buddha Jawa. Ajaran Kejawen sendiri tidaklah statis, tetapi terus-menerus melakukan penyerapan dan penyaringan terhadap ajaran Islam yang masuk ke dalam keraton-keraton di Jawa dan Sunda sejak abad XVI.[ii]

Islam, bila ditelusuri dari sumbernya yang paling sah -yaitu Alquran- merupakan dîn yang bermakna kedamaian (Inggris, mindfulness). Islam adalah dîn dan bukan religi. Dîn adalah jalan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan religi adalah seperangkat tata-cara ritual. Dengan demikian, hanya ada satu dîn di seluruh dunia, yang dalam bahasa Arabnya disebut Islam.[iii] Dîn Islam ini dalam kenyataannya telah terpecah-pecah menjadi religi-religi Islam, Yahudi, Kristen/Katholik, Hindu, Buddha, Kong Huchu, Sikh, Bahai dan lain sebagainya. Selanjutnya, religi Islam yang akhirnya dikenal sebagai agama Islam, terpecah-belah menjadi puluhan golongan di antaranya yang besar adalah Sunni, Syi’ah, dan Wahabiyah. Sedangkan Sunni terbagi lagi menjadi beberapa madzhab besar seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Sebenarnya, kata agama tidak tepat bilamana ditempatkan di depan kata Hindu, Yahudi, Buddha, Kristen/Katholik, Islam, Sikh, Bahai dan lain sebagainya. Kata agama dalam bahasa Jawa Kuna merupakan bentukan dari a + gama yang artinya menjalankan aturan yang ditetapkan negara. Jadi, orang yang beragama adalah orang yang mematuhi aturan, undang-undang, dan hukum negara. Oleh karena itu, di Kep. Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Buddha tidak dikenal istilah agama.

Jika kata agama tidak dapat ditempatkan di depan kata Hindu dan Buddha, maka disebut apakah Hindu dan Buddha dalam pemahaman orang Jawa? Hindu dan Buddha dalam khazanah budaya Jawa disebut dharma, yang artinya kewajiban, tugas hidup, kebenaran, atau kepercayaan. Namun, dalam kamus Jawa Kuna entri kata Hindu tidak ada, karena dharma yang masuk ke Kep. Nusantara pada zaman dahulu adalah dharma Syiwa, dharma Wisnu, dan dharma Buddha. Bahkan dharma-dharma yang masuk Jawa itupun mengalami penyesuaian diri setelah berinteraksi dengan dharma asli yang ada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kata dharma digunakan dalam semboyan “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, berlainan itu satu tak ada kebenaran mendua. Ini berarti pada masa Kerajaan Majapahit orang menjalankan dharma apa pun -Wisnu, Syiwa, Buddha, Syiwa-Buddha- memiliki kedudukan yang sama, dan mendapatkan perlakuan yang sama dari negara.

Keadaan berubah ketika berdiri Kerajaan Demak Bintoro yang menggunakan dharma Islam menjadi undang-undang di kerajaan tersebut. Islam tidak lagi disamakan dengan dharma-dharma yang lain. Dengan kata lain, dengan Islam diangkat sebagai undang-undang negara, maka gugurlah semboyan kebinekaan tersebut. Pluralisme yang menjadi tonggak kehidupan yang berlain-lainan dharmanya itu sirna. Sebab, semua warga negara harus mematuhi undang-undang negara, sedangkan yang dijadikan undang-undang itu adalah “Islam”.

Setiap warga negara Kesultanan Demak diwajibkan untuk mengikuti agama raja, agama ageming aji, agama adalah nilai-nilai yang digunakan oleh raja. Oleh karena itu, terjadilah penaklukan -termasuk konversi dharma yang dipeluk warganya- oleh Kesultanan Demak terhadap kadipaten-kadipaten yang masih setia kepada Majapahit. Sistem penaklukan dharma ini di kemudian hari dilanjutkan oleh Belanda ketika menjajah Kep. Nusantara. Bahkan Belandalah yang menempatkan ulama-ulama dan aliran dari Timur Tengah di kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah dikuasainya. Akibatnya, terjadilah penaklukan dan pemberantasan oleh aliran yang baru masuk terhadap aliran yang sudah mapan di suatu kerajaan, misalnya pemusnahan pengikut Hamzah Fansuri di Aceh oleh kelompok Nuruddin ar-Raniri, pemberantasan pengikut Syamsyuddin Sumatrani dan pelaku dharma tradisional oleh kaum Wahabi di Sumatra Barat, dan lain-lainnya.

Dan, mengingat kata agama bukanlah kata benda, dan juga tidak untuk mengganti kata dharma, maka sebaiknya kata “agama” tidak dipakai sebagai kolom dalam KTP. Jadi, yang benar, setiap warga negara Indonesia yang mematuhi hukum dan undang-undang yang berlaku di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), adalah orang-orang yang beragama. Peniadaan kolom agama pada KTP adalah upaya untuk mencegah terjadinya friksi dan konflik antar pemeluk dharma yang diyakininya. Setiap orang berhak menjalankan dharma yang diyakininya dengan rasa aman. Dengan cara demikian, setiap orang ikut andil dalam penegakan persatuan di NKRI, yang sekaligus penghayat dan pengamal Pancasila. Dan, Pemerintah NKRI akan menjadi pelaksana dan penjamin bagi setiap warga negara untuk menjalankan “agama” (dharma) dan keyakinan yang dianutnya. Inilah yang menjadi prinsip ajaran dan orang Kejawen. Ini pula yang menjadi Sistem Islam bahwa tiada paksaan dalam beragama (Quran 2:256).

Jadi, orang-orang Kejawen adalah orang-orang yang menjalankan dharma hidupnya sesuai dengan dharma yang diyakininya, dan sudah pasti beragama, namun tidaklah terikat oleh dogma-dogma sebuah kepercayaan dan tidak terjebak oleh “agama” sebagai identitas. Oleh karena itu, bagi yang tidak mengerti, Kejawen dianggap sebagai sinkretisme berbagai kepercayaan yang telah ada di Jawa. Padahal, Kejawen adalah dinamika orang Jawa dalam menerima, menyerap dan menghayati nilai-nilai dîn dan religi serta dharma yang masuk ke Pulau Jawa.

 

Islam Masuk Pulau Jawa

Tanah asal agama Islam adalah Arab, khususnya dari Madinah dan Mekah. Agama Islam menyebar keluar dari Jazirah Arab pada umumnya melalui jalur darat. Oleh karena itu, kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara baru tiga per empat milenium kemudian setelah agama ini lahir di Jazirah Arab. Agama Islam masuk Kepulauan Nusantara melalui perdagangan, dan bukan melalui misi pengembangan agama.

Agama Islam dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab, Persia (Iran sekarang), dan Gujarat (di pantai barat India). Perdagangan itupun tidak dibawa langsung dari Arab atau Persia ke P. Jawa, melainkan secara beranting dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya sampai di Malaka.[iv] Dari Semenanjung Malaka inilah akhirnya agama Islam sampai di Jawa, khususnya di sepanjang pesisir utara Jawa, dari Banten (di bagian barat P. Jawa) hingga Gresik (di bagian timur P. Jawa). Oleh karena itu, agama Islam yang masuk ke Kep. Nusantara ini merupakan produk sejarah masyarakat di negara-negara yang dilaluinya selama 750 tahun -termasuk pergulatan antar pemeluk ajaran Islam di tanah kelahirannya.

Pedagang-pedagang yang berasal dari Arab, Persia dan Gujarat itu pada umumnya memeluk agama Islam yang beraliran Syi’ah, karena sejak permulaan abad XII aliran ini berkembang di Persia dan Hindustan. Selain itu, aliran ini mendapat dukungan dari pemerintahan Bani Fathimiyah di Mesir yang berpegang pada aliran Syi’ah. Pada pertengah abad XIII (1268) dinasti Fathimiyah jatuh, sehingga dukungan terhadap aliran Syi’ah tidak ada lagi. Namun, Persia dan Hindustan ternyata merupakan tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya aliran ini.

Meskipun agama Islam telah memperoleh tempat baru yang subur di Semenanjung Malaka dan Sumatra pada abad XIII, tapi agama ini baru bersemi di pesisir utara Jawa pada abad XV. Meskipun demikian, berdasarkan laporan Ma Huan dan Fei Xien yang mengikuti perjalanan Panglima Cheng Ho di Nusantara pada 1405 – 1406, agama Islam belum tampak dipeluk oleh penduduk asli di P. Jawa, dan yang mereka laporkan adalah agama dan adat-istiadat Jawa.[v]

Tuban dan Surabaya sebagai kota pelabuhan strategis, pada abad XV menjadi kota dagang yang telah banyak dihuni oleh keturunan Tionghoa. Agar hubungan dagang antara Tiongkok daratan dengan Jawa lancar, maka diangkatlah kapten Cina Gan Eng Chu di Tuban pada tahun 1423 dan di Surabaya pada 1447. Kurang lebih 1.000 keluarga keturunan Cina tinggal di Tuban, dan mereka juga banyak yang tinggal di Surabaya. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dan berinteraksi dengan adat-istiadat setempat. Dan, menurut Ma Huan, kebanyakan penduduk Cina yang tinggal di kota-kota ini memeluk dan menaati aturan agama Islam.[vi]

Jadi, bila di awal abad XV masyarakat asli masih memeluk dan mempraktikkan adat-istiadat Jawa, namun pada pertengahan abad telah terjadi pergeseran pemelukan agama pada masyarakat yang tinggal di pesisir-pesisir utara Jawa. Di kota-kota pelabuhan terjadi hubungan dagang yang intensif antara pedagang Cina dan Jawa. Selain itu, pada pertengahan abad XV Pemerintah Tiongkok memihak pada Pemerintah Kerajaan Majapahit meski keadaan di Majapahit mulai goyah karena perebutan kekuasaan dari dalam. Juga dapat disimpulkan bahwa keturunan Cina pendatang telah memeluk agama Islam terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh masyarakat setempat.

Aliansi masyarakat Jawa Islam dan Cina Islam yang tinggal di pesisir Jawa inilah yang kelak mendorong lahirnya Kesultanan Demak Bintoro yang raja pertamanya adalah Raden Patah (bentuk keliru dari Fatah yang berarti Wijaya).[vii] Raden Patah berhasil mendirikan Kerajaan Demak berkat dukungan adipati-adipati yang ada di pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kemudian hari disebut sebagai para wali, yang sering disalahpahami sebagai ulama penyebar agama Islam. Padahal, yang menyebarkan agama Islam adalah para pedagang, sedangkan yang disebut “Wali Sanga” itu bukanlah pedagang, meski ketika mudanya di antara para wali, seperti Sunan Giri, ada yang berdagang. Para anggota Wali Sanga adalah adipati yang bergelar “sunan” dan memiliki daerah kekuasaannya sendiri-sendiri. Sebagai penguasa-penguasa kadipaten, mereka menerapkan prinsip agama ageming aji. Setiap warga di kadipaten itu diseru, diajak, untuk memeluk atau menjalankan dharma ajaran Islam.[viii]

 

Ragam Aliran dan Mazhab Islam yang Masuk Jawa

Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa aliran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat adalah aliran Syi’ah. Dan, tampaknya aliran ini cukup lama bertahan di Nusantara, dan di Jawa khususnya, sehingga peninggalan aliran ini masih dilestarikan hingga sekarang di berbagai daerah di luar maupun di Jawa. Pembuatan bubur Suro pada tanggal 10 Suro (Muharram) di berbagai daerah merupakan wujud nyata warisan aliran Syi’ah. Berbagai upacara adat untuk memperingati Imam Husain di bebagai daerah di Jawa juga merupakan peninggalan Syi’ah.

Aliran Syi’ah juga terdiri dari banyak subsekte atau mazhab-mazhab, dari yang sangat berorientasi pada syariat hingga yang lebih menekankan pada ajaran kebatinan. Dan, kelihatannya golongan Syi’ah yang dapat dengan mudah bertemu dengan pandangan dan dharma yang dijalankan oleh orang Jawa adalah Syi’ah yang berpaham Wujudiyyah atau Manunggaling Kawula klawan Gusti. Ajaran inti dari Wujudiyyah ialah segala sesuatu yang maujud ini merupakan emanasi atau percikan sinar Ilahi. Ajaran inilah yang “klop” dengan dharma yang dilakukan oleh orang Jawa yang memandang manusia sebagai “titah” (sabda) Sang Hyang Taya atau Tuhan yang tidak dapat digambarkan seperti apa pun seperti yang dinyatakan dalam Q. 41:11.

Raden Patah bukan dari aliran Syi’ah, melainkan berasal dari Aliran Sunni bermazhab Hanafi -lantaran warga keturunan Cina di Jawa bermazhab Hanafi- namun sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu menjalankan ajaran Islam Syiah.[ix] Oleh karena Syekh Siti Jenar sebagai guru agama yang termasyhur diduga oleh penguasa Demak sebagai pengikut Aliran Syi’ah, maka Syekh dijerat pasal hukuman tentang penyebaran ajaran sesat dan dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Demak. Dengan cara demikian lumpuhlah para pelaku dharma Syi’ah Jawa (dharma Islam ala Jawa), sehingga dukungan terhadap Raden Patah semakin menguat.

Alasan lain untuk mengeliminasi Syekh Siti Jenar adalah karena dia menjadi guru agama bagi empat puluh adipati, termasuk gurunya Raden Kebo Kenongo alias Ki Pengging (penguasa daerah Pengging) yang menjadi pesaing Raden Patah dalam kelanjutan tahta Majapahit dan sekaligus ahli waris sahnya.[x] Ajaran Syekh Siti Jenar ini mempunyai pengaruh besar di masyarakat Islam di Jawa -khususnya Jawa Tengah. Hal inilah yang justru mengkhawatirkan Raden Patah terhadap kerajaannya yang masih muda umurnya itu. Jadi, sebenarnya bukan ajaran Syekh Siti Jenar itu yang ditakuti oleh Raden Patah, dan bukan pula kesesatan ajarannya, sebab ajaran yang dipegang oleh para wali itupun ajaran MKG (Manunggaling Kawula-Gusti). Contohnya, sampai hari ini makrifat MKG yang berasal dari Sunan Kudus tetap berkembang di Indonesia.

Di era pasca kemerdekaan ajaran MKG dari Sunan Kudus ini disebarluaskan oleh Ki Ageng Nitiprana (wafat 23 Desember 1991).[xi] Dewasa ini ajaran MKG dari Sunan Kudus tersebut disebarkan dalam tiga sistem, yaitu sistem MKG yang dibungkus syariat, sistem MKG yang menekankan ajaran hakikat, dan sistem MKG yang diajarkan melalui lintas agama. Ketiganya berkembang di Jakarta dan dari ibu kota NKRI ini menyebar ke seantero Nusantara. Berbeda dengan MKG yang berasal dari Sunan Kudus, ajaran MKG dari Syekh Siti Jenar diajarkan melalui kelompok-kelompok kecil yang sifatnya tertutup atau agak tertutup. Bahkan kelompok-kelompok itu tidak menggunakan wadah yang secara terbuka dilabeli ajaran MKG Syekh Siti Jenar. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka menghindari sensitivitas masyarakat sekitarnya.

 

Kesultanan Demak mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki untuk menghadapi perlawanan para pengikut Syekh Siti Jenar, dan secara perlahan-lahan mazhab Hanafi digeser dan digantikan oleh aliran Islam mazhab Syafii yang memang sudah berkembang kuat di Semenanjung Malaka. Mazhab Syafii pun lebih fleksibel dalam menghadapi tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat Jawa. Ajaran Islam mazhab Syafii juga lebih dekat dengan praktik-praktik keagamaan aliran Syi’ah.

Meskipun ajaran Syekh Siti Jenar yang egaliter dan berpegang pada pluralisme dalam dharma itu dibasmi habis-habisan, namun pergulatan ajaran yang disebut Islam Jawa ini tetap eksis di dalam Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga yang di satu sisi sebagai penasihat Sultan Trenggana (Sultan Demak III), namun di sisi lain dia adalah guru bagi Jaka Tingkir (anak Ki Pengging, dan akhirnya dapat mendirikan Kesultanan Pajang), Ki Gede Pamanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Amartani.[xii]

Keahlian politik Ki Juru Amartani yang akhirnya dapat mengembalikan kelanjutan tahta Majapahit (yang di kemudian hari menjadi Mataram Islam)  dengan masa transisi Kesultanan Pajang di bawah Sultan Adiwijaya. Dengan kata lain, runtuhnya Kesultanan Demak merupakan bangkitnya kembali dharma Islam yang di kemudian hari dikenal sebagai Islam Kejawen atau Kejawen. Namun, jalannya sejarah ternyata tidak mulus dan bahkan menghadapi jalan-jalan terjal. Mataram yang baru tumbuh itu dihadapkan pada banyaknya kadipaten yang masih setia pada Kesultanan Demak, sehingga Mataram muda disibukkan dengan penaklukan Demak, Madiun, Kediri, Pasuruan dan Gresik.[xiii]

Pada 1613 Raden Mas Rangsang ditabalkan sebagai sultan di Mataram dengan gelar Sultan Agung Senapati ing Alaga Saidin Panatagama, yang juga dijuluki sebagai Prabu Pandita Anyakrakusuma. Beberapa tahun sebelum dia diangkat sebagai sultan, tepatnya pada 1611, Gubernur Jendral Both (Belanda) memperoleh sebidang tanah dari Pangeran Jayakarta. Pada 1619 Jan Pieters Zoon Coen berhasil membangun benteng di Jayakarta dan daerah tersebut diubah namanya menjadi Batavia. Setelah Sultan Agung dapat menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah kekuasaan Mataram pada 1628, maka Belanda yang bercokol di Batavia dianggapnya sebagai ancaman kedaulatan Mataram. Upaya Sultan Agung menaklukkan Batavia pada 1628 dan 1629 gagal.[xiv]

Setelah gagal menaklukkan Batavia, Sultan mencoba melakukan konsolidasi ke dalam dan mencoba mempertemukan berbagai aliran dan mazhab Islam di Jawa. Salah satu upaya tersebut ialah diubahnya kalender Jawa Saka yang berdasarkan peredaran Matahari menjadi kalender Jawa Islam yang berdasarkan peredaran rembulan. Perubahan perhitungan tahun ini dilakukan pada 8 Juli 1633 dan bertepatan dengan 1 Suro 1555 tahun Alif. Selanjutnya, perhitungan didasarkan pada 1555 JI tersebut.[xv] Sultan Agung banyak melakukan akulturasi dan asimilasi budaya spiruitual.

Ketika Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung, Belanda (VOC) tidak berani turut campur terhadap Mataram. Namun, VOC telah melakukan penaklukan dan pendekatan terhadap raja-raja yang belum tunduk pada kekuasaan Mataram. Ketika Sultan Agung wafat pada 1646, dan digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat I, VOC melakukan perjanjian damai dengan Mataram. Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada tahun 1646 itu, VOC berjanji akan membantu Mataram bila Mataram berperang dengan pihak yang menjadi musuh Kompeni.[xvi]

Akhirnya, sejak permulaan abad XVIII Mataram benar-benar jatuh ke tangan Kompeni dan praktis semenjak Sunan Amangkurat II raja-raja Mataram berada di bawah kekuasaan Kompeni. Di lain pihak Batavia terus berkembang pesat, dan masyarakat Arab dan Cina di Batavia mendapatkan perlindungan yang kuat. Dengan demikian, orang-orang Islam yang hendak menunaikan ibadah haji benar-benar berada di bawah pengawasan Belanda. Sejak abad XVIII Aliran Islam mazhab Syafii yang dibawa oleh jemaah haji dari Jawa semakin menyebar di seantero P. Jawa. Sebagaimana dungkapkan di atas, ajaran Islam mazhab Syafii mudah bertemu dengan pola pikir Jawa.

Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga Keraton Surakarta abad XVIII, melukiskan ketegangan dalam kehidupan keagamaan orang-orang Jawa setelah adanya kontak dengan orang-orang Islam pembela syariat. Salah satu contoh karya tulis R. Ng. Yasadipuro I yang menggambarkan konflik dalam kehidupan beragama itu adalah Serat Cabolek. Dalam serat ini dilukiskan adanya konflik antara ulama pembela syariat Islam dengan mereka yang menolak ajaran syariat Islam sembari tetap memegang ajaran mistik Jawa. Tokoh sentral dalam serat ini adalah Ketib Anom dari Kudus yang membela syariat dan Haji Ahmad Mutamakin yang tinggal di Cabolek, Tuban, yang mengajarkan ilmu hakikat. Pada waktu itu ulama di Keraton Kartasura pro syariat, yang sebenarnya Haji Mutamakin bisa mengalami nasib yang sama yang dialami Syekh Siti Jenar maupun Sunan Panggung; namun Sunan Pakubuwana II memaafkannya.[xvii]

 

Sumbangsih Kejawen sebagai Solusi

Tantangan Zaman

Setelah memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kejawen telah mengalami perjalanan panjang di Kep. Nusantara dan khususnya di P. Jawa. Menurut Robert von Heine Geldern (sarjana Australia) dan Brandes (sarjana Belanda), kebudayaan spiritual asli Nusantara sebelum bertemu dengan kebudayaan India (Hindu dan Buddha) adalah pertunjukan wayang kulit, gamelan, dan pemujaan kepada arwah para leluhur.[xviii]

Arwah leluhur yang suka memberi perlindungan disebut Hyang. Menurut Kitab Walisanga yang memuat ajaran rahasia orang Jawa, orang-orang yang berbudi luhur kalau meninggal jiwanya akan menuju lapisan langit. Di langit tersebut mereka menjadi Roh Kahyangan, yang berdasarkan kecakapan mereka masing-masing, mereka diberi tugas untuk membantu mengatur alam semesta. Mereka bisa menampakkan diri kepada orang-orang yang berasal dari suku, bangsa dan ras yang sama; dan mereka juga menggunakan bahasa yang sama dengan suku tersebut. Sebagai roh-roh Kahyangan mereka memberikan perlindungan kepada bangsa tempat mereka ketika hidup di bumi ini. Mereka mampu berbuat kebaikan sesuai dengan yang diinginkannya. Bila mereka tidak diindahkan oleh bangsanya di dunia nyata ini, mereka akan melanjutkan perjalanannya ke kelangitan yang lebih tinggi.[xix]

Dari sini kita dapat mengetahui mengapa orang-orang yang memahami Kejawen dengan baik menjauhkan diri dari konflik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan. Mereka justru menerima dengan baik pendatang dari manca negara yang datang ke P. Jawa ini dengan membawa dharma dan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pendatang dari India yang membawa kepercayaan Hindu dan Buddha hidup mulus di Jawa sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing. Orang Kejawen menerima kepercayaan mereka sambil melakukan penyaringan, akulturasi dan asimilasi, sehingga agama Hindu maupun Buddha itu tidak bertabrakan dengan dharma yang dijalankan oleh orang-orang Jawa.

Setelah mereka menetap dan berketurunan di Jawa, agama mereka menyatu dengan dharma yang ada di Jawa, sehingga lahirlah Hindu Jawa, Buddha Jawa, dan lain-lain yang bersifat kejawaan. Beberapa contoh hasil paduan budaya spiritual India dan Jawa adalah Hari Raya Nyepi, cerita wayang kulit yang berbeda dengan pakem India, dan berbagai bentuk upacara keagamaan pada pemeluk dharma Hindu dan Buddha di Jawa yang tidak dijumpai di negeri asalnya seperti bersih dusun/desa. Upacara bersih dusun/desa merupakan kearifan lokal agar orang-orang Jawa bisa hidup harmonis dengan alam. Pemberian sesaji pada pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sendang, situ, telaga, sungai, dan danau, merupakan upaya untuk melestarikan alam.

Sebagaimana diuraikan di atas, pada mulanya agama Islam yang masuk ke P. Jawa adalah yang beraliran Syi’ah yang bernuansa tasawuf dan kebatinan. Para pendatang yang berasal dari Arab, Persia dan Gujarat (India) disambut dengan baik. Ajaran tasawuf dan mistik Islam yang berkembang di Asia Tengah (termasuk Persia) dan India dikawinkan dengan mistisme Jawa. Ajaran MKG yang lebih bersifat individu di dunia Syi’ah oleh Syekh Siti Jenar diolah menjadi MKG yang bernuansa publik. Raja dan rakyatnya hidup bersatu yang dinamakan masyarakat. Kata yang berentri masyarakat dibentuk dari unsur-unsur kata Arab mim + syaraka + ta’ marbutoh, yang artinya kumpulan orang-orang yang bersekutu. Namun, kosa kata masyarakat tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab. Yang dapat ditemukan dalam kamus Arab adalah musyaarik atau musyaarakah yang berarti sekutu atau pertemanan. Dari sini dapat diketahui bahwa Kejawen berkehendak menempatkan manusia dalam kedudukan yang setara. Oleh karena itu, Raden Kebo Kenanga atau Ki Pengging setelah menerima ajaran dari Syekh Siti Jenar langsung menjalani hidup seperti para petani yang hidup di wilayah kekuasaannya. Ajaran Kejawen semacam ini di alam kemerdekaan dipraktikkan oleh Ki Ageng Suryomentaram yang hidup dengan penuh kesederhanaannya.

Sejak abad XVII dan mencapai puncaknya abad XIX di Mataram berkembang kesusastraan Jawa yang bernuansa keislaman dan ditulis dengan huruf Jawa. Para inteletual Jawa yang masuk agama Islam berkumpul dan menyatu di pusat kekuasaan kebudayaan spiritual Jawa.[xx] Pada zaman Keraton Surakarta lahirlah serat-serat yang merupakan akulturasi antara kebudayaan spiritual Islam dan kebudayaan spiritual Jawa. Serat-serat tersebut sarat dengan ajaran moral, budi pekerti, mistisisme, dan ilmu kesempurnaan yang menjadi acuan dan pegangan hidup orang-orang Jawa.[xxi] Namun sayang sekali, pada waktu itu para intelektual tidak dapat membawa ajaran Islam Kejawen ke luar tembok keraton karena keraton berada di bawah kekuasaan Belanda. Akibatnya, ajaran tersebut tidak sampai pada sebagian besar orang Jawa yang di kemudian hari dikenal sebagai kaum Abangan. Mereka inilah yang merupakan sebagian besar penduduk Jawa yang berislam KTP dan mereka tidak mengerti ajaran Islam maupun Kejawen. Mereka pada umumnya menjadi mayoritas diam (silent majority). Padahal, merekalah yang dapat menjadi kekuatan nasionalisme NKRI bila mereka memahami dan menghayati ajaran Kejawen.

 

Menurut Kodiran[xxii], kebudayaan spiritual Jawa yang disebut Kejawen memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama, orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka bersifat nrima (menerima) takdir sehingga mereka menjadi tahan dalam hal menderita.

Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada hari Jumat Kliwon bulan Suro dengan upacara siraman.

Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Roh halus dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selamatan dan sesaji pada waktu-waktu tertentu.

 

Sifat-sifat tersebut membuat NKRI tidak segera ambruk setelah ditimpa krisis multidimensi sejak 1998. Pada umumnya orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan selamatan merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam sekelilingnya. Di zaman modern tentunya sifat-sifat tersebut harus diarahkan pada hal-hal yang produktif, seperti kemampuan untuk bertahan hidup menerima penderitaan diubah menjadi kemampuan untuk berjuang keras yang bersifat “menjemput bola” dan bukan hanya menunggu bola.

Kepercayaan terhadap benda-benda magis diubah menjadi diri yang sugestif dalam mencapai keberhasilan. Bila benda-benda saja bisa memiliki kekuatan maka diri manusia tentunya memiliki kekuatan yang lebih dahsyat. Selamatan harus diarahkan untuk menjadi wahana pertemuan non-formal untuk membangun solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini diperlukan pimpinan yang bersifat seperti Semar yaitu sosok pemimpin yang dapat momong dan ngayomi. Dari sinilah lahir sifat dan sikap hidup ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Inilah sejatinya ajaran Kejawen. Dan, ajaran ini justru amat sesuai dengan apa yang digariskan dalam Alquran.

Selain itu, ada inti ajaran Kejawen adalah amemayu hayuning bawana, dan ajaran ini telah dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032). Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas pimpinan adalah untuk berbuat jasa memperbaiki dan memakmurkan dunia seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan Pakubuwana IX (1861 – 1893) menggubah bait tersebut dalam Serat Wiwaha Jarwa menjadi “amayu jagad puniki kang parahita, tegesé parahita nenggih angécani manahing lyan wong sanagari puniki”. (Melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini.)

Tugas hidup amemayu hayuning bawana oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar Dewantara dikembangkan menjadi mahayu hayuning sarira, mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning bawana (memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia).[xxiii] Tugas amemayu hayuning bawana jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai pemimpin. Dalam tinjauan Islam setiap orang adalah pemimpin dan kepemimpinanannya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan semesta alam (Hadis). Setiap orang adalah khalifah alias wakil Tuhan semesta alam di bumi ini, oleh karena itu manusia harus bertanggung jawab atas kekhalifahannya. (Q. 6:165)

 

Agar setiap orang bisa bertanggung jawab atas kekhalifahannya itu, Syekh Siti Jenar mengajarkan makrifat sebagai ilmu menjadi makrifat sebagai laku. Syekh juga menjarwakan ketiga pilar agama Islam -yaitu Rukun Islam, Rukun Iman dan Ihsan- menjadi laku dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya diwujudkan dalam laku yang disebut amal saleh. Syekh mengingatkan setiap orang agar dalam hidup ini tetap éling, sadar dan menyadari kebenaran hidup.

Syariat yang berupa Rukun Islam yang masih berada di awang-awang, oleh Syekh dijabarkan dalam praktik kehidupan. Syahadat Tauhid adalah komitmen atau janji untuk tidak menghambakan diri kepada apa pun, tidak mempertuhan benda atau pikiran kita sendiri. Syahadat Rasul adalah mewujudkan empat sifat Rasul -yaitu shiddîq, fathânah, amânah dan tablîgh– dalam kehidupan ini. Orang yang shiddîq itu bersifat jujur dan berbudi benar sesuai dengan waktu dan tempatnya. Fathânah adalah sikap hidup untuk berbuat dan bertindak cerdas dalam kehidupan ini, sehingga tidak menimbulkan kezaliman dan penderitaan baik bagi orang lain maupun dirinya. Dalam hidup ini setiap orang harus amânah, yaitu menjaga dan bertanggung jawab terhadap apa yang dititipkan atau tugas yang diembannya.

Kemudian, semua sikap tadi harus diiringi dengan sikap hidup tablîgh, yaitu mengantarkan amanat hingga sampai tujuan. Dengan demikian, seseorang yang mengemban amanat atau titipan haruslah bertanggung jawab penuh terhadap amanat itu, dan sedikit pun tidak menyembunyikannya serta tidak melakukan kezaliman terhadap apa yang dikuasainya. Keempat sikap hidup tadi merupakan syarat pokok dalam pelaksanaan manajemen modern. Dengan keempat sikap hidup atau laku tersebut kita akan mampu membangun kejayaan negeri ini. Jadi, bila negeri yang mayoritas warganya beragama Islam tetapi hidup penuh derita dan bencana, berarti belum meneladani Rasulnya.

Salat merupakan komitmen manusia kepada Tuhannya. Oleh karena itu, orang yang menegakkan salat adalah orang yang berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar (Q. 29:45). Jadi, jelas sekali bahwa salat bukanlah semata-mata melakukan seperangkat gerakan ritual. Kalau hanya bersifat ritual kita tak akan bisa meraih kemenangan dalam hidup ini. Dan, ayat-ayat tentang salat akan tidak sambung dengan kehidupan ini bila tidak dipahami sebagai komitmen untuk menjalankan aturan dan tata-tertib dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Puasa Ramadhan merupakan momentum untuk melatih diri agar menjadi orang yang mampu menaati hukum dan undang-undang (Q. 2:183), menjadi orang yang pandai bersyukur dalam arti selalu berusaha untuk menciptakan nilai tambah dalam hidup ini (Q. 2:185), menjadi orang yang mampu hidup yang benar dan pener (Q. 2:186). Namun, umat Islam di Indonesia ternyata tidak memahami hakikatnya puasa, dan hanya bisa meniru praktik puasa yang dijalankan di Timur Tengah. Puasa ala orang Timur Tengah jelas tidak akan bisa menjadi solusi dalam kehidupan modern.

Bagi Syekh zakat jelas bukanlah upaya menyisihkan 2.5% dari harta bersih yang terkumpul selama setahun dan setelah mencapai nisabnya, 2.5% harta itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Syekh memahami betul bahwa zakat dalam terminologi Alquran adalah tindakan menjaga komitmen agar tetap murni, bersih dari segala unsur pamrih. Oleh karena itu, perintah zakat selalu mengikuti perintah penegakan salat. Apa yang disebut zakat dewasa ini sebenarnya sedekah. Dan, bila itu sedekah, maka kita harus bisa menyisihkan sebagian harta untuk menolong orang yang membutuhkannya. Dan, bila ini yang dipahami, maka zakat yang kita kenal dewasa ini bisa dikelola dengan cara modern yang harus dilandasi keempat sifat Rasul.

Yang terakhir adalah ibadah haji. Sebagai rukun Islam, tentunya harus dilakukan oleh setiap orang, tidak peduli ia kaya ataupun miskin harta. Haji adalah kewajiban bagi orang yang mampu mengetahui perjalanan ruhani sehingga ia mampu mencapai tingkatan spiritual Ibrahim. Sayangnya, dewasa ini para pelaku haji hanya bisa mengikuti arus ritualnya. Kalau ini yang dilakukan maka umat Islam tak akan mampu menjawab tantangan zaman. Justru yang dilakukan adalah pemborosan devisa negeri ini.

Dalam hal pengejawantahan Rukun Iman Syekh tidak terjebak pada istilah. Dengan beriman kepada Allah sebagai rukun yang pertama, Sykeh mengajak para muridnya untuk mengabdi kepada Yang Baka dan Abadi. Oleh karena itu, beriman kepada Allah harus diwujudkan dalam hidup lahir dan batin sama. Iman dan perbuatan harus klop. Yang tampak di alam lahir merupakan manifestasi yang ada di batin.

Iman kepada malaikat haruslah diwujudkan dalam upaya mengeksplorasi bakat, potensi dan keahlian yang ada di dalam dirinya. Jadi, keimanan kepada malaikat harus menjadi sumsum dan darah dalam kehidupan. Oleh karena itu, keimanan kepada malaikat harus diiringi dengan keimanan kepada kitab-kitab-Nya. Ada 2 macam kitab Allah yaitu kitab yang berupa teks yang disampaikan kepada para nabi dan kitab yang digelar di jagad raya ini, kitab yang tertulis dan yang ada di dalam kesadaran (dada). Kedua kitab itu harus dibaca (di-iqra) benar-benar (Q. 96:1-5). Kemudian, kita harus beriman kepada para rasul, dan tentunya rasul yang diimani adalah rasul yang hidup dan tetap aktual. Penutupnya adalah iman kepada hari akhir dan takdir. Dalam hal ini, manusia harus menyadari bahwa dirinya merupakan wadah bagi kodrat dan irodat Tuhan, dan hal ini harus diwujudkan dalam tataran lahiriah dan batiniah.

Semua Rukun Islam dan Rukun Iman itu harus diwujudkan dalam bentuk laku lahir dan batin yang dilandasi sikap ihsan, tulus tanpa pamrih. Jadi, bagi seorang Islam pelaku Kejawen, syariat bukanlah sebentuk ritual semata-mata. Syariat, thariqat, dan hakikat sudah digulung menjadi satu dalam wujud perbuatan lahiriah untuk amemayu hayuning sarira, bangsa dan bawana. Dengan demikian manusia Kejawen adalah manusia yang sanggup keluar dari krisis kehidupan dan mampu mengatasi tantangan zaman.

 

 

Referensi:


*               Almamater sebuah perusahaan Jepang Sumitomo Corporation di Jakarta, dan penulis buku Syekh Siti Jenar serta Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Makalah ini disampaikan pada Konferensi Internasional Kebudayaan Jawa 2008 di Purwokerto.

 


[i]               Siswono Yudo Husodo, 2000. Kata pengantar untuk buku Ajaran Kejawen: Filosofi dan Perilaku, oleh Soesilo, Jakarta: Yusula.

[ii]               R. Admodarminto, 2000. Babad Demak: dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, Jakarta: Millenium Publisher.

[iii]              Aidid Safar, 2005. Arab Conspiracies against Islam, 2nd ed. www.aididsafar.com, atau Mental Bondage: In The Name of God, Victoria – Canada: Trafford Publ.

[iv]              Slamet Muljana, 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.

[v]               Kong Yuanzhi, 2000. Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta: Pustaka Populer Obor.

[vi]              Denys Lombard, 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia.

[vii]             G. Moedjanto, 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

[viii]             Achmad Chodjim, 2007. Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, Jakarta: Serambi.

[ix]              Slamet Muljana, ibid.

[x]               Paku Buwana VI, 1849. Babad Jaka Tingkir dalam Kupya Iber Warni-Warni, Surakarta.

[xi]              Ki Ageng Nitiprana, 1973. Himpunan Karya Tulis Ki Ageng Nitiprana (Guru Mursyid), Yogyakarta.

[xii]             G. Moedjanto, ibid.

[xiii]             R. P. Suyono, 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.

[xiv]             Slamet Muljana, ibid.

[xv]             Rajiman, 2000. Konsep Petangan Jawa, Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra.

[xvi]             R. P. Suyono, ibid.

[xvii]            S. Soebardi, 2004. Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan; Bandung: Nuansa Cendekia.

[xviii]           Sri Mulyono, 1975. Wayang: Asal-Usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta: ALDA.

[xix]             R.P. Suyono, 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa, Yogyakarta: LKIS.

[xx]             R.M. Ng. Poerbotjaraka, 1957. Kapustakan Jawi, Jakarta: Jambatan.

[xxi]             Suwarno Imam, 2005. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa.

[xxii]            Kodiran, 1971. Kebudayaan Jawa dalam Koentjaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, jakarta: Jambatan.

[xxiii]           Soenarto Timoer, 1993. Nilai Keterbukaan Budaya Tradisional Jawa dalam  Jurnal Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Lembaga Javanologi Surabaya, 2007.

Oleh: propbiyang | Oktober 6, 2008

Medu Netcher

Oleh: Ki Denggleng Pagelaran

Para sejawat,

Memperhatikan e-mail Kang Sondong yang sudah berani memasang gelar “Ki”-nya lagi, yang salah satu intinya adalah mengemukakan hakekat (pepesthen) ketelanjangan manusia (jalma wuda) dari “mantra sengara” dan “joborolo, mokoholo, hosoropolo dan hojorolo” dari Lajang Jojobojo, saya jadi ingat sesuatu tentang sastra tulis kuno. Yaitu dari Mesir kuno dengan Hieroglyph nya.

Nama asli hiroglif kalau tak salah Medu Netcher (bahasa Mesir kuno) yang arti harfiahnya “Bahasa Dewata” atau Hiero Glyphos atau apa begitu dalam bahasa Yunani. Pernah saya tulis dalam e-mail berbahasa Jawa di kaljw, arek-suroboyo, sknap dan jawa “Mangatology” yang saya ambil dari pengertian Ma’at
yang merupakan dewa tertinggi bangsa Mesir yang dipercaya sebagai pencipta dan pemelihara jagad raya. Dalam mitologi Mesir, Ma’at kemudian bermanifestasi menjadi dewa-dewa Mesir seperti Osiris, Iris dan lain-lain yang umumnya disimbulkan “Kahiyangannya” berupa bintang-bintang atau rasi bintang.

Nah Ma’at mencipta dan memelihara jagad raya (sebagai rabb al – ‘alamiin dalam konsep al-Fatihah-nya Ustadz Chodjim), adalah berdasarkan “benar” dan “titah”. Tidak ada penyelewengan perjalanan jagad raya atas kehendak Ma’at. Semua serba benar, itulah mungkin yang menurut konsep Arab diberi nama malaikat. Malaikat tak terhitung, dan semua serba patuh sesuai kodrat dan tugasnya.

Manusia (dalam konsep Mesir) rupanya berimpit benar dengan konsep al-insan dan jalma, yaitu menjadi makhluk gabungan spiritual dan ragawi. Raga bagi bangsa Mesir merupakan wahana penyempurnaan suksma, sehingga para orang terhormat ketika meninggal diusahakan agar raga itu awet, dengan dimumikan. (Beberapa suku bangsa kuno ternyata memakai konsep mumi ini untuk merawat jenasah, meskipun berbeda-beda metode dan penyemayamannya).

http://www.shahkala.com/images/egypt/hieroglyph.jpg

Jadi hidup adalah perjalanan dari dan menuju Ma’at. Oleh karena itu orang Mesir kuno menteorikan Ma’at pasti memberikan “petunjuk”, memberikan panduan hidup. Juga orang Mesir berteori bahwa semua yang tergelar (terlihat maupun ghaib) selalu berupa kenyataan. Ciri khas kenyataan adalah dapat dipahami.

Pemahaman selanjutnya Ma’at mengajarkan petunjuk itu berupa simbol dan gambar. Itu tersebar di seluruh gelaran jagad raya. Akhirnya orang Mesir menemukan simbolisasi “sastra” berupa aksara hieroglyphe (ada sekitar 700an simbol). 

Simbol-2 itu berupa gambar-gambar stilir makhluk hidup dan segala ciptaan. Seperti kalajengking, air, gunung, matahari, orang, kayu (pohon) dan lain-lain, untuk menjelaskan “ucapan” dan maksud “kata”. Cara mengungkapkan adalah dengan 2 simbol untuk satu kata. Tetapi dari kata yang diekspresikan yang dibaca adalah “konsonan”-nya. Jadi kalau digunakan bahasa Jawa, misalnya kucing, maka yang dibaca cukup “kcng”, digambar dengan simbul kucing.  Tetapi perlu dipertegas, karena ada kata lain dengan unsur konsonan yang sama “kcng” misalnya “kacang”. Jadi bila orang Mesir kuno menulis kucing, ditulisnya dengan dua simbul, misalnya jadi gambar kucing dan simbul “berjalan”.

Nah, itu ada kemiripan dengan mantra sengara dan lajang-jojobojo. Yang menggunakan aksara carakan nglegena (telanjang). Sembah Gusti, menjadi “somoboho gosotoho” yang kalau dibaca konsonannya saja menjadi “smbh gsth”. Sama juga misalnya diwujudkan dalam karakter Jepang bisa menjadi samabaha-gasataha… dengan huruf lain bisa juga begitu.

Bedanya, simbolasi aksara-aksara non-hieroglif sudah lebih lanjut menjadi lambang ucapan, bukan lagi simbol materi ucapan. Ini menandakan lebih majunya abstraksi budaya-budaya itu dibandingkan budaya Mesir kuno. 

Yang jelas ada benang merah tentang hakekat nglegena, substansi ketelanjangan. Juga termasuk menakjubkan adalah bahwa sebenarnya awal-awalnya konsep bahasa dewata itu berbasis faham “Monotheisme” paling tidak “Monolatry” (berpaham dewa banyak, tetapi ada Maha Dewa yang paling berkuasa – fahamnya masyarakat Babilonia jaman Ibrahim).

Nah, dengan begitu saya tinggal merenungi firman Tuhan dalam QS 49:13: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal… dst”. Dan dari tinjauan ekosistem serta geografi kuno, tempat yang paling memungkinkan untuk perkembang-biakan manusia itu adalah kondisi “tropika”, yang semula di Afrika, tetapi karena kekeringan menimpa benua itu, menyebabkan “bakalan” manusia bermigrasi ke mana-mana. Nusantara yang sejak 30 juta tahun yang lalu tetap melekat di Khatulistiwa dengan alam segar kaya flora-fauna menurut pendapat saya sangat cocok untuk menciptakan keragaman makhluk hidup. Kita sekarang pun sebagai bangsa Indonesia juga paling banyak bersuku-suku dibandingkan bangsa-bangsa lain…. hehehe…. ah, ini sekedar merenung.

Namun hasilnya, saya menjadi sadar bahwa budaya dan peradapan Nusantara, pastilah jauh lebih tua dibandingkan yang dipersangkakan para ahli. Permasalahannya adalah bahwa jejak-jejak budaya bangsa-bangsa itu di Nusantara sebagian besar terendam laut ketika jaman es terakhir berakhir (sekitar 11.600 tahun yang lalu, kalau menurut cerita Plato), yang kebetulan menjadi acuan dasar dari sistem kalender suku Maya… 

Lho, kok kemana-mana? Ya, deh… pokoknya Bahasa Dewata itu berintikan ketelanjangan, dan itu ada disegenap suku bangsa di dunia. Dan itu untuk segala makhluk ciptaan Tuhan. Maka tak heran kalau ada pendapat bahasa dewata semacam itu dipahami pula oleh para yang ghaib…. Apa begitu, ya? [KDP, 28/5-2005]

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Budaya Spiritual Jawa #5

V

Sampailah kajian kita terhadap relevansi dan peran ‘Budaya Spiritual Jawa’ bagi Indonesia.  Untuk itu, perlu dipahami bahwa proses meng-Indonesia pada seluruh unsur-unsurnya (termasuk Jawa) belum selesai.  Masih terjadi kerancuan pemahaman ‘membangun jatidiri’ Indonesia dengan ‘penguatan identitas unsur-unsur’.  Dalam hal berkaitan dengan Jawa, maka terjadi ‘pergumulan’ nilai-nilai untuk meng-Indonesia dan penguatan identitas Jawa.  Bahkan ‘pergumulan’ nilai-nilai tersebut bertambah ‘muyeg’ (rumit dinamis?) dengan masuknya nilai-nilai budaya dan peradaban dari agama yang dipeluk, serta nilai-nilai budaya dan peradaban modern Barat.  Maka diperlukan suatu kecermatan, kehati-hatian, dan kearifan dalam mengangkat wacana-wacana Jawa dan ke-Jawa-an.  Dengan demikian tidak mengganggu proses meng-Indonesia secara tuntas.

Budaya Spiritual Jawa melekat erat pada ‘SDM’ wong Jawa karena bersumber dari ‘wiji spiritual’ yang ‘azali adikodrati’ pemberiaan Tuhan Yang Maha Esa.  Demikian pula, sepanjang sejarah Nusantara, budaya spiritual Jawa selalu relevan terhadap eksistensi negara-negara (kerajaan) yang pernah ada.  Bahkan mempunyai peran positif menjadikan jaya kerajaan-kerajaan tersebut.  Bukti empirisnya berupa peninggalan monumen bangunan berupa candi-candi (Hindu dan Buddha) di Jawa yang ‘lebih’ dibanding peninggalan di tempat agama Hindu dan Buddha berasal.  Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya spiritual Jawa memiliki karakter: ngemot, momong, dan mangkat (meninggikan derajat hingga berjaya) semua kerajaan yang ada meskipun berbeda budaya dan peradaban.  

Karena ‘azali adikodrati’, maka meskipun telah dan akan bersinggungan, bersinergi, dan bersinkretisme dengan banyak budaya spiritual yang lain, budaya spiritual Jawa masih tetap eksis tidak banyak berubah. Persoalan utamanya, bahwa budaya spiritual Jawa tetap memiliki aras dasar kuat pada kesadaran: ber-Tuhan, kesemestaan, dan keberadaban.  Ketiga aras kesadaran tersebut merupakan dasar ‘universalitas’ budaya spiritual Jawa. 

Di banyak bagian dunia, konflik antar manusia lebih disebabkan oleh perbedaan ‘sistim religi’ yang terperangkap kepada sikap ‘primordial sempit’ para pemeluknya.  Adalah sistim religi Jawa yang menyatakan Tuhan ‘tan kena kinayangapa’ dan tidak mempersoalkan berbagai bentuk ‘ritual panembah’ menjadi tali perekat persatuan antar manusia yang berbeda-beda.  Benarlah kiranya pernyataan Mpu Tantular (wong Jawa jaman Majapahit): “Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mngrwa”. 

Demikian, dan kurang lebihnya mohon berkenan ‘legawa’ menerima wacana pemikiran saya ini.  Swuhn.

 

                                                                                                           Semarang, 22 Juli 2008

Makalah ini disajikan dalam Lokakarya Kebudayaan Jawa di Benteng Willem Ungaran Tgl. 3 Agustus 2008 yang diselenggarakan oleh Paguyuban ‘Insan Nyawidji” Semarang.

 

 

Ki Sondong Mandali adalah nama lain dari Totok Djoko Winarto

Ketua Yayasan Sekar Jagad tinggal di Jl. Keruing II/111 Banyumanik – Semarang

Tilp: (024) 7477292;  HP: 08157611019;  e-mail: kisondongmandali@yahoo.com

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Budaya Spiritual Jawa #4

IV

Tinjauan empiris membuktikan bahwa dunia terbagi dalam ‘gugus budaya’ yang saling berbeda antara satu gugus dengan gugus yang lain.  Pada ‘pemetaan’ gugus budaya ini, maka Nusantara (Indonesia) merupakan satu gugus budaya yang memiliki kekhasan.  Namun demikian, gugus budaya Nusantara pada perjalanan sejarahnya sering berubah batas-batas wilayahnya.  Hal ini disebabkan oleh adanya negara (kerajaan) yang berdiri di wilayah gugus budaya Nusantara. 

Sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan sejarah yang dikemukakan Bambang Noorsena, maka membuktikan bahwa jauh sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya, Jawa dan Nusantara sudah pernah memiliki negara yang berdaulat.  Demikian pula penyebutan Sumatra sebagai semenanjung dan Jawa selalu dengan sebutan Yawadwipa (pulau Jawa), maka bisa ditarik pengertian bahwa di jaman kuno Sumatra merupakan bagian dari Asia daratan, sementara Jawa dan pulau-pulau lain sebagai gugus kepulauan di sebelah timurnya.  Dengan demikian, gugus Nusantara bisa dianggap meliputi daratan Asia Tenggara dan kepulauan-kepulauan di sekitar Asia Tenggara tersebut.

            Bahwa di wilayah satu gugus budaya pada kenyataannya ada bangsa-bangsa dan suku bangsa yang berbeda budaya dan peradabannya.  Namun demikian masih bisa dianggap sebagai ‘serumpun’ dan saling berhubungan satu dengan yang lain.  Berdasar kajian sejarah, maka hubungan antar etnis dan sub etnis di gugus budaya Nusantara berubah-ubah secara dinamis yang disebabkan oleh perubahan wilayah kekuasaan negara (kerajaan) yang ada. 

Ketika gugus Nusantara dikuasai Sriwijaya, maka budaya dan peradaban Melayu menjadi dominan di gugus budaya Nusantara.  Namun perlu dicatat bahwa di masa jayanya Sriwijaya, Jawa tidak termasuk dalam wilayah kekuasaannya.  Maka pengaruh budaya dan bahasa Melayu kepada Jawa tidak signifikan.

Ketika jayanya kekuasaan Majapahit, budaya dan peradaban Kawi (Jawa Kuno) yang dominan.  Namun perlu dicatat, bahwa wilayah Pasundan secara kultural tidak menerima kekuasaan Majapahit yang disebabkan oleh peristiwa ‘Perang Bubat’.

Tersebarnya agama Islam di Nusantara dan disusul runtuhnya Majapahit, membuat perubahan peta kerajaan-kerajaan di Nusantara.  Pada masa ini, Jawa yang telah menerima Islam menjadi terpecah-pecah dalam banyak kultur.  Wilayah pesisir utara dari Banten sampai ke Brang Wetan yang lebih banyak mencerap nilai-nilai budaya dan peradaban Islam berkultur ‘Santri’.  Di pedalaman bagian selatan berkultur ‘Mataram’ (Islam-Kejawen), sedang di pedalaman Jawa Barat berkultur ‘Sunda Kawitan’ dan ‘Baduy’.  Di bagian lain Nusantara terbagi-bagi dalam berbagai kultur.  Berbagai ‘kesultanan Islam’ berkuasa, namun di wilayahnya banyak kantong-kantong kultur asli yang tetap eksis.  Artinya, bahwa semenjak runtuhnya Majapahit,  Nusantara terisi serpihan berbagai kultur yang boleh dikatakan tidak ada yang berdaulat penuh.

Maka ketika NKRI sebagai negara yang berdiri di gugus budaya Nusantara, berbagai serpihan budaya dan peradaban yang tidak berdaulat tersebut disatukan dalam realitas baru, negara baru, dan bangsa baru yang berdaulat, yaitu negara dan bangsa Indonesia.

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Budaya Spiritual Jawa #3

III

Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain.  Bahkan kemudian ‘bersedia’ untuk bersinergi dan sampaipun ke masalah laku budaya spirituil.  Sinergi yang menghasilkan sinkretisme ini yang kemudian menjadikan para peneliti Jawa dan ke-Jawa-an menganggap budaya dan peradaban Jawa adalah hasil meniru dan menurun dari budaya dan peradaban bangsa lain. 

Namun demikian, ada yang terlewatkan (atau sengaja dikesampingkan) oleh para peneliti tersebut.  Diantaranya, dalam masalah ritual-ritual Jawa di-‘gebyah uyah’ dan dianggap sebagai ‘pemujaan’ terhadap ‘sesembahan’.  Maka kemudian Jawa sebelum masuknya agama-agama diposisikan sebagai animisme dan menyembah arwah leluhur. Malahan ada yang kemudian menganggap lakubudaya spiritual Jawa sebagai upaya menggapai ‘kesaktian’ semata.  Tak kurang pula yang menganggap lakubudaya spiritual Jawa sebagai ritual bersekutu dengan setan untuk mendapatkan kesaktian tersebut.  Salah paham yang demikian perlu diklarifikasi dengan mengemukakan ‘aras dasar’ (landasan) utama lakubudaya spiritual Jawa yang sejati. 

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab I, bahwa budaya dan peradaban Jawa merupakan hasil olah ‘cipta rasa karsa’ yang sumbernya berasal dari interaksi antara ‘wiji spiritual Jawa’ dengan kondisi (lahiriah dan rohaniah) alam semesta Jawa.  Interaksi inilah yang kemudian melahirkan pemahaman-pemahaman tentang:

1. Adanya Tuhan sebagai ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang maknanya dijelaskan dalam kawruh ‘Sangkan paraning dumadi’ dan melahirkan lakubudaya spiritual sebagai ‘ritual panembah’.

2.  Adanya alam semesta dan seluruh isinya yang saling berhubungan secara ‘kosmis-magis’ yang penjabarannya ada pada kawruh (filosofi) ‘Panunggalan’ dan melahirkan lakubudaya spiritual sebagai ‘ritual panunggalan’ (jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe).

3.  Adanya ‘sesamaning titah manungsa’ yang saling berhubungan secara berkeadaban lahiriah dan rohaniah yang melahirkan ‘Piwulang Kautaman’ sebagai landasan tata pergaulan antar umat manusia cara Jawa.

            Ketiga hal pemahaman tersebut merupakan ‘naluri dasar alamiah’ wong Jawa yang ‘mijil’ dari ‘wiji spiritual’ yang telah ‘berinteraksi’ dengan situasi dan kondisi alam semesta Jawa dengan segala ‘plasma nutfah’-nya.  Wiji spiritual maupun alam semesta Jawa sama-sama pemberian Tuhan yang bersifat ‘azali adi kodrati’.

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Budaya Spiritual Jawa #2

II

Sejarah panjang Jawa membuktikan keberadaannya sudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain sejak ribuan tahun yang lalu.  Hal ini dibuktikan oleh catatan kesaksian sejarah bangsa-bangsa lain sebagaimana disebutkan Bambang Noorsena pada makalahnya “Pancadharma Ksatria Indonesia’ dalam Sarasehan Budaya “Refleksi dan Laku Spiritualitas Kebangsaan”  yang diselenggarakan BAWANA (Bangun Jiwa Nusantara) di Hotel D’Cokro Yogyakarta Tgl. 17 Mei 2008:

1. Kesaksian sejarah para penulis Romawi dan Yunani abad II M., yaitu: Strabo, Plinius dan Claudius Ptolemaus.  Strabo dan Plinius menyebut wilayah berdaulat di sebelah timur India sebagai ‘Chryse’ (Tanjung Emas), sebuah sebutan yang lazim untuk pulau Sumatra.  Sedangkan Ptolemaus menyebut beberapa pulau dari gugus Indonesia antara lain: labadiou (Jawadwipa), Sabadeibei dan Barousai (Sabadiwpa dan Barus, keduanya ada di Sumatra).

2.  Sumber-sumber sejarah India, khususnya Srimad Valmiki Ramayana (Maharshi Valmiki, 150 M.) dalam bahasa asli Sanskerta dalam ‘parwa’ perintah Sri Rama kepada Hanoman ketiga menyuruh mencari Dewi Shinta yang diculik Rahwana telah menyebut wilayah kedaulatan Nusantara yang membentang dari Sumatra, Jawa, Bali ke arah timur sampai Papua: “ Yatnavanto Yavadwipam, Saptarajpasohitam, Suvarna-rupyakapwipam, Suvarnakamanditam ” yang artinya: “Jelajahilah tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan menjadi hiasan Nusa Merah Putih, tanah Sumatra yang berlambang emas”.

3.  Sumber-sumber India lain, kitab Vayu Purana menyebut “tujuh pulau yang dikelilingi tujuh samudra” yang tidak lain menunjuk wilayah Nusantara yang didalamnya: Yawadwipa (pulau Jawa), Keserumat (semenanjung Sumatra).  Masih banyak sumber India antara abad V-VI M. (Aryabhata, Suryasiddanta, dan Manjustri Mulakalpa) yang menyebut: Yawa (Jawa), Bali, Warusuka (Barus), dan Nadikera (Nusa Tenggara).  Bahkan Suryasiddanta mengagumi Yawakoti (Jawa dan Kutai) yang disebutnya “memiliki gerbang yang terbuat dari emas”.

4.  Dokumen Gereja Purba, Didascalia Apostolorum (‘Konstitusi Apostolik’, edisi bahasa Arab: Kitab Ta’lim ar-Rusul), yang diedit oleh St. Hypolitus di akhir abad II Masehi, menyebut diutusnya St. Thomas Rasul ke wilayah “India besar dan negeri di kepulauan jauh’.  Tidak diragukan bahwa ‘negeri di pulau-pulau yang jauh’ adalah tanah Nusantara.

5.  Sumber-sumber sejarah Cina (I Tsing, Chau Ju Kua, dan Ma Huan) banyak menyebut Sriwijaya.  Sedangkan sejarah Arab-Islam dapat dibaca dari laporan perjalanan Ibnu Batutah dalam bukunya Tuhfat an-Nuzar fi Grara’ib al Amsar wa ‘Ajaib al–Asfar, yang menyebut wilayah Sumatra. Selanjutnya, ahli hukum dunia Hugo Grotius (1625) menuklis dalam bahasa Latin :”puta Javae, taprobanae, parties maximae Moluccarum (pulau Jawa, Sumatra dan kepulauan Maluku).

            Disamping catatan Bambang Noorsena tersebut, perlu dikemukakan catatan sejarah ‘Berita Tionghoa’ yang ditulis N.J. Krom dan dibahas oleh Purbacaraka dalam buku ‘Kepustakaan Jawa’: “Hwui-ning di abad 7 Masehi berguru agama Buddha kepada Jnanabadra (Johna-potolo, ejaan Cina) di Jawa Tengah”. 

            Catatan-catatan sejarah Bambang Noorsena sebagaimana dikemukakan serta tambahan dari penelitian Prof. Dr. I. Wayan Mertasutedja tentang hubungan budaya Jawa dengan budaya bangsa Indian Maya di Amerika Selatan yang berdasar adanya ‘kembaran’ Candi Sukuh di Mexico, membuktikan bahwa jauh sebelum masuknya budaya dan peradaban Hindu/Buddha ke Jawa, sudah ada budaya dan peradaban asli Jawa yang dikenal di banyak penjuru dunia.  Dalam hal ini menarik untuk dikaji dan ditelisik kemungkinan pengaruh budaya dan peradaban Jawa ke banyak bangsa yang mengenalnya tersebut di jaman kuno.  Landasan berpikirnya, bahwa bangsa Nusantara (termasuk Jawa) adalah bangsa bahari yang mampu berkelana melalui samudra, sementara banyak bangsa yang menulis Jawa dalam catatan sejarahnya bukan bangsa pelaut.

Wacana pemikiran bahwa bangsa Jawa di jaman kuno memiliki ‘kedaulatan’ penting artinya untuk melakukan ‘tinjauan mendalam’ tentang sistim religi, spiritualisme dan filsafat hidup Jawa guna menelisik ‘Laku Budaya Spiritual Jawa’ yang sejati.  Bagaimanapun, secara logika, dikenalnya Jawa oleh bangsa-bangsa lain di banyak penjuru dunia, merupakan bukti ‘ada yang lebih’ pada budaya dan peradaban Jawa yang sejati tersebut.  Kelebihan tersebut kemudian ‘mengundang’ bangsa-bangsa lain migrasi ke Jawa dan seluruh penjuru Nusantara.

Dengan logika pula, ketika alat transportasi laut dikuasai bangsa Nusantara, maka pendatang yang migrasi ke Nusantara (termasuk Jawa) adalah para penumpang perahu-perahu dari Nusantara.  Dengan demikian jumlah imigran jaman kuno bisa diperkirakan tidak signifikan pengaruhnya terhadap budaya dan peradaban Jawa. Namun demikian, ada nilai-nilai budaya kaum pendatang yang beradaptasi dan bersinergi dengan nilai-nilai budaya Jawa.  Sinergi tersebut lebih berperan kepada ‘pengayaan’ nilai-nilai yang sudah dimiliki secara ‘azali adi kodrati’.  Sinergi pengayaan itupun melalui proses memilih dan memilah untuk mengambil yang cocok.  Dalam hal ini, menarik dikedepankan pendapat Prof. Dr. Timbul Haryono, MSc. Dalam sarasehan budaya yang diselenggarakan Yayasan Sekar Jagad di PPG Kesenian Yogyakarta, 3 September 2005:

“Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai Hindu dan Buddha diposisikan sebagai ‘baju’, isinya tetap utuh Jawa.  Maka ada perbedaan signifikan antara Hindu Jawa dan Buddha Jawa dengan yang asli di India”.

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Budaya Spiritual Jawa #1

Tinjauan selayang pandang

Budaya Spiritual Jawa

Relevansi & perannya bagi Indonesia
Penyaji: Ki Sondong Mandali

I

Banyak anggapan bahwa lakubudaya spiritual dan ritual Jawa sebagai ‘klenik’, ‘gugon tuhon’, dan primitif penuh ketahayulan.  Anggapan yang demikian sesungguhnya terlalu ‘tergesa-gesa’ dan lebih berdasarkan ‘keengganan’ untuk melakukan kajian mendalam tentang sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup Jawa yang melandasi adanya lakubudaya spiritual dan berbagai ritual Jawa. 

Setiap bangsa manusia tercipta dengan diberi kelengkapan ‘wiji spiritual’ yang ‘azali adi kodrati’ (build-in) dan sesuai (jumbuh, jw.) untuk menjalani hidup pada keadaan habitat (lingkungan alam mukim)-nya masing-masing.  Kenyataannya, bahwa ada perbedaan situasi dan kondisi alam (termasuk ‘nuansa spiritual’-nya) pada bagian-bagian bumi.  Dengan kata lain, dunia terbagi menjadi banyak ‘gugus spiritual’ yang membedakan ras-ras manusia secara fisik, bahasa, dan ‘wiji spiritual’-nya.   

Interaksi wiji spiritual dengan keadaan habitat alam lingkungan menumbuh kembangkan ‘cipta rasa karsa’ masing-masing bangsa.  Dari ‘cipta rasa karsa’ masing-masing, setiap bangsa melahirkan budaya dan peradabannya.  Pada budaya dan peradaban setiap bangsa terkandung unsur-unsur budaya: sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup masing-masing bangsa tersebut yang ‘azali adi kodrati’.  Universal atau tidak sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup suatu bangsa sifatnya relatif.  Permasalahannya, ada pengaruh kondisi habitat lingkungan alam semesta setiap bangsa tersebut mukim.

Bahwa Jawa merupakan bagian bumi yang tropis, vulkanis, maritim (bahari), subur makmur lengkap flora dan fauna (plasma nutfah)-nya, tetapi penuh dengan bencana alam.  Situasi dan kondisi alam semesta Jawa yang demikian tersebut mendasari sistim religi, spiritualisme, filsafat hidup, tata kehidupan, lakubudaya (tradisi/adat), bahasa, sistim ilmu pengetahuan, seni, kriya, sastra, dan karakter dasar bangsa Jawa.

Kesuburan bumi Jawa dengan ragam ‘plasma nutfah’ yang lengkap menjadikan orang Jawa tercukupi kesediaan bahan pangannya.  Maka tidak ada ‘konflik’ dan ‘persaingan’ mendasar untuk berebut pangan. Ketersediaan bahan pangan oleh habitat alam melahirkan mata pencaharian utama wong Jawa pada bidang pertanian dan kebaharian.  Jenis pekerjaan yang butuh ‘kerjasama’ banyak orang sehingga menjadikan hubungan antar manusia menjadi berkeadaban dengan pijakan nilai rukun dan selaras, gotongroyong.  

Banyaknya bencana alam, menjadikan wong Jawa sadar dan paham akan ‘pekerti’ alamnya.  Juga melahirkan pemahaman adanya hubungan ‘kosmis-magis’ manusia dengan alam semesta (jagad raya) berikut segala isinya.  Kesadaran adanya hubungan ‘kosmis-magis’ menjadikan karakter wong Jawa ‘bersahabat’ dengan alam.  Dari sini lahir ritual dan budaya spiritual Jawa yang berhubungan dengan alam dan seluruh isinya.

Olah ‘cipta rasa karsa’ pada wong Jawa melahirkan pemahaman adanya ‘maha kekuatan’ yang ‘murba wasesa’ (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya.  Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya ‘realitas tertinggi’ untuk disembah yang disebut ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang ‘tan kena kinayangapa’.  Kesadaran ini melahirkan ritual dan budaya spiritual ‘panembah’ kepada sesembahan.

Dengan alur pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka bisa kita pahami bahwa ritual dan budaya spiritual Jawa mengandung unsur-unsur hakiki: sebagai panembah kepada ‘Sesembahan’, sebagai hubungan kosmis-magis dengan alam semesta dengan seluruh isinya, dan sebagai ekspresi berkeadabannya manusia.

 

 

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Tinjauan Spiritualisme Eksistensi Indonesia #4

Nilai-nilai budaya dan peradaban modern

            Di depan telah dikemukakan bahwa disain NKRI adalah negara modern, maka semua tata nilai modern yang bisa membawa kesejahteraan sosial seluruh rakyat bisa diterima.  Namun demikian, sebagai negara dan bangsa berdaulat sudah barangtentu melakukan filter (pemilihan dan pemilahan) nilai-nilai mordernisasi tersebut.  Pemfilteran terjadi bukan merupakan penerapan kebijaksanaan tata kelola pemerintahan saja, namun secara ‘alamiah adi kodrati’ akan dilakukan secara spiritual seluruh rakyat. Landsan pemikirannya, bahwa di jiwanya rakyat Indonesia telah tersemaikan ‘wiji spiritual Indonesia’ yang akan operasional secara alamiah untuk menangkal berkembangnya ide-ide yang tidak cocok dengan jatidiri Indonesia, Pancasila.

            Alur pemikiran ini memang terkesan ‘nyleneh’ dan ‘jauh panggang dari api’.  Namun bukti-bukti empiris terbukti di lapangan.  Sebagai contoh, pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini boleh dikatakan sebagai loncatan kemajuan yang mencengangkan.  Banyak pakar memperkirakan kita tidak mampu melaksanakan asas-asas demokrasi tersebut, ternyata kemudian Indonesia mampu melaksanakan sistim pemilu/pilkada langsung oleh rakyat dengan mulus.  Hal ini membuktikan bahwa kita mampu menyelenggarakan tata kelola pemerintahan negara yang modern, demokratis.

            Keberhasilan berdemokrasi tersebut mengindikasikan bahwa secara spiritual jiwa rakyat Indonesia benar-benar telah memiliki kesadaran bernegara secara modern.  Maka sebenarnya kita sangat optimis tentang masa depan Indonesia.  Kondisi yang sekarang dianggap terpuruk dan carut marut adalah kondisi sementara yang pasti berubah menuju tatanan yang paripurna sebagaimana dicitakan para pendiri bangsa kita. 

            Nilai-nilai budaya dan peradaban modern sebagai dampak globalisasi memang akan berpengaruh terhadap perubahan-perubahan sistim sosial kemasyarakatan.  Namun dengan mengingat bahwa disain Indonesia sebagai negara modern yang berkesejahteraan sosial sudah secara spiritual menghuni jiwanya rakyat akan menumbuhkan optimisme untuk mampu mengelola berbagai pengaruh tersebut.  Optimisme ini bertolak dari kenyataan bahwa nilai-nilai Pancasila, meski tidak banyak dibicarakan lagi, pada kenyataannya telah melekat dan menjadi naluri alamiah rakyat Indonesia secara spirituil.  Alasannya, bahwa Pancasila bukan hasil rekayasa, tetapi digali dari bumi pertiwi Indonesia sendiri.  Dalam hal ini pemakalah mewacanakan bahwa Pancasila memang ada di ‘gugus geo spiritual Indonesia’ dan manunggal dengan ‘wiji spiritual Indonesia’ yang melekat di jiwanya rakyat Indonesia. 

            Panunggalan ‘gugus geo spiritual Indonesia’ dengan ‘wiji spiritual Indonesia’ merupakan hubungan kosmis-magis adikodrati yang kendalinya ada kuasa Tuhan Yang Maha Esa.  Panunggalan tersebut yang digali Bung Karno saripati nilai-nilainya, kemudian dirumuskan sebagai Pancasila dan dijadikan dasar dan ideologi NKRI.  Maka dengan demikian Pancasila merupakan ideologi yang paling tepat bagi bangsa Indonesia.  Disamping sebagai ‘way of life’ dan ‘struggle for life’, juga merupakan benteng pertahanan untuk tetap menjaga eksisnya NKRI. 

            Pada saat ini banyak yang beranggapan bahwa Pancasila sudah ‘dilupakan’ dan perlu diganti dengan ideologi lain.  Namun anggapan yang demikian sekedar tinjauan ranah lahiriah semata.  Secara spiritual nilai-nilai Pancasila melekat erat di ruang batin seluruh rakyat Indonesia karena merupakan ideologi yang lahir dari suatu proses adikodrati.  Kalau toh kenyataannya banyak upaya meninggalkannya, namun kita boleh yakin bahwa secara spiritual tak mungkin hilang dari sanubari terdalamnya seluruh rakyat Indonesia.  Segencar apapun upaya ‘melindas’ dan ‘mengkooptasi’ dengan ideologi lain, maka rakyat Indonesia akan tetap teguh mempertahankan Pancasila di ruang terdalam batinnya.  Semua ideologi lain yang dicobakan untuk mengganti bisanya hanya di lapis luar.  Demikian pula nilai-nilai liberalisme produk modernisasi akan terjinakkan oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih kuat mengisi jiwanya rakyat Indonesia.

 

Penutup

            Wacana tersaji pada makalah ini merupakan tinjauan berdasarkan perenungan spiritual.  Maka dimungkinkan kurang bisa diterima oleh banyak pihak yang lebih mengutamakan aras empiris.  Namun demikian, pemakalah ingin menyampaiakan suatu bahan kajian bersama atas konsep adanya ‘gugus geo spiritual Indonesia’ sebagai plasma (mancapat, jw) dan ‘wiji spiritual Indonesia’ pada ‘inner’ insan Indonesia sebagai inti (pancer, jw.).  Suatu hubungan inti-plasma atau ‘pancer-mancapat’ yang sejalan dengan kenyataan panunggalan seluruh struktur semesta yang kekal abadi meski secara dinamis juga mengalami perubahan. 

            Kesimpulannya, bahwa ada hubungan spiritual kosmis magis antara kawula Indonesia dengan NKRI yang adikodrati. Bahwa kemudian ‘hubungan kosmis magis’ tersebut dirumuskan sebagai ideologi Pancasila adalah sangat tepat sekali.  Dengan demikian, Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang secara spirituil mampu menjaga eksistensi Indonesia.  Swuhn.

 

Semarang, Agustus 2008.

 

 

 

Makalah ini disusun untuk ‘Sarasehan Spiritual Kebangsaan’

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Tinjauan Spiritualisme Eksistensi Indonesia #3

Nilai-nilai budaya dan peradaban agama yang dipeluk

            Sudah sejak jaman kuno, bumi Nusantara merupakan wilayah dunia yang menjadi sasaran penyebaran agama-agama besar dunia.  Maka kemudian rakyat Nusantara menjadi pemeluk agama-agama tersebut.  Disamping itu, ada agama-agama lokal yang ternyata tetap eksis meskipun tidak terakui oleh Pemerintahan Negara. 

Setiap agama dan kepercayaan membawa serta budaya dan peradaban dari tempat agama itu berasal.  Di Nusantara, nilai-nilai yang dibawa serta agama-agama berinteraksi saling pengaruh mempengaruhi sedemikian rupa dinamis hingga terjadi sinergi dan sinkretisme nilai-nilai.  Sinkretisme tersebut pada jamannya ternyata mampu mengampu kepentingan kehidupan sosial kemasyarakatan dengan baik.  Hal itu bisa dibuktikan dengan menghadirkan kejayaan Sriwijaya, Syailendra & Sanjaya, Majapahit, sampai kepada eksisnya kesultanan-kesultanan Islam di seluruh wilayah Nusantara. 

            Dinamika pergaulan antar bangsa dan negara di dunia sejak jaman kuno ternyata penuh konflik kepentingan.  Demikian pula sebaran berbagai agama di Nusantara tidak lepas dari kepentingan untuk ‘menguasai’ Nusantara yang subur makmur dan kaya raya sumber daya alamnya.  Kepentingan kerajaan-kerajaan India terhadap penguasaan Nusantara menggunakan penyebaran agama Hindu dan Buda.  Demikian pula sebaran agama Islam dimanfaatkan untuk kooptasi Arab/Persia terhadap Nusantara. Meski perlu dikaji mendalam, kemungkinan sebaran agama Kristiani juga dimanfaatkan oleh penjajah Belanda. Barangkali hanya upaya kooptasi Cina dan Jepang terhadap Nusantara yang tidak menggunakan sebaran agama, tetapi lebih menggunakan kekuatan ekonomi dan militer.

            Berdasar bukti sejarah, maka upaya kooptasi menggunakan sebaran agama di Nusantara pernah berhasil.  Maka kemudian tersebarkan nilai-nilai budaya dan peradaban asal agama-agama tersebut di Nusantara.  Adalah kenyataan sejarah bahwa nilai-nilai budaya dan peradaban agama-agama dari manca tersebut sudah membawa serta ‘nuansa konflik’ sejak dari tanah asalnya.  Nuansa konflik tersebut secara nyata mewujud dalam konflik antara Wangsa Syailendra (Buda) dengan Wangsa Sanjaya (Hindu) di Mataram Kuno.  Juga mengemuka dalam konflik Sriwijaya (Buda) dengan Cola di India yang Hindu. Dalam hal konflik ini, kerajaan Cola perlu membela komunitas Tamil (Hindu) yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari penguasa Sriwijaya (Buda).

            Konflik Buda dan Hindu (Syiwa) mampu diredam di jaman Majapahit dengan keluarnya filsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa’ oleh Empu Tantular.  Namun kemudian peredaman ini tidak berjalan ketika Nusantara menerima sebaran Islam. Banyak daerah kekuasaan Majapahit yang sudah mayoritas memeluk agama Islam melepaskan diri dari Majapahit yang diposisikan sebagai ‘kerajaan kafir’.  Ujungnya berupa runtuhnya Majapahit.

            Terlepas dari kenyataan sejarah jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di Nusantara atas pengaruh sebaran agama, realitas yang ada di tengah masyarakat Indonesia sekarang ini berlaku nilai-nilai budaya dan peradaban dari agama yang dipeluk masing-masing.  Maka ketika kita sepakat mewujudkan nilai-nilai Indonesia sebagai negara dan bangsa modern, berkesejahteraan sosial, bercitra, dan dihormati negara lain, butuh pengelolaan cerdas dari nilai-nilai agama yang kita peluk masing-masing.  Adalah suatu kemustahilan membangun bangsa yang bersatu ketika bangsa tersebut tidak mampu mengelola secara cerdas perbedaan tatanilai warga bangsanya atas dasar agama yang dipeluk. 

            Mempersatukan ‘tatanilai’ atas dasar pemelukan agama yang berbeda memang tidak mudah. Maka banyak negara di dunia melepaskan (memisahkan) urusan agama dengan urusan kenegaraan.  Sekularisme dijadikan pijakan menjalankan pemerintahan negara.  Namun sekularisme tidak cocok untuk Indonesia yang rakyatnya memiliki kesadaran ber-Tuhan (religius) mendalam.  Maka dasar utama untuk mempersatukan nilai-nilai budaya dan peradaban dari perbedaan agama yang dipeluk adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.  Adalah makna ber-Tuhan yang mendalam dan lintas budaya.  Aatau oleh Bung Karno dinyatakan sebagai berketuhanan secara budaya.  Artinya, ekspresi dan implementasi ber-Tuhan yang hakiki yang menumbuhkan sikap saling menghormati antar pemeluk agama.

            Untuk memahami makna saling menghormati antar pemeluk agama ini kiranya bisa diinternalisasikan falsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang dicetuskan Mpu Tantular.  Bagaimanapun semua ajaran agama memuat tentang spiritualisme yang inti dasarnya berupa ajaran mengoptimalkan kesadaran ber-Tuhan, kesadaran kosmis (kesemestaan), dan kesadaran keberadaban.  Maka tidak ada dharma (kebenaran) yang berbeda.

Oleh: propbiyang | Agustus 20, 2008

Tinjauan Spiritualisme Eksistensi Indonesia #2

Nilai-nilai azali sukubangsa dan etnis

            Kita semua menyadari bahwa Indonesia merupakan bangsa dan negara multikultur yang unsur-unsurnya (ketika diberdirikan) sebagian besar tidak memiliki kedaulatan.  Pada unsur-unsur yang kehilangan kedaulatan akibat dijajah pada kenyataannya memiliki nilai-nilai budaya yang azali dan sudah mbalung sungsum pada warga unsur-unsur tersebut.  Sementara, di lain pihak, unsur-unsur lain yang tertinggal dalam peradaban justru memiliki kedaulatan azali yang tidak pernah dikooptasi oleh penjajah. Maka kondisi multikultur ini, merupakan suatu ‘tantangan besar’ untuk dikelola sedemikian rupa cerdas untuk ‘menyatu’ (manunggal, jw.)  lahiriah, batiniah, dan Tuhaniah (istilah BK) dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            Panduan pengelolaan secara cerdas dari banyak perbedaan unsur-unsur Indonesia termaktub dengan sangat jelas pada Pembukaan UUD 1945.  Kajian kita mendalam tentang isi kandungan Pembukaan UUD tersebut, menyatakan bahwa disain NKRI yang dikehendaki para Founding Fathers kita ternyata merupakan negara dan bangsa baru yang modern, bercitra, dan dihormati negara-negara lain.  Maka secara spiritual NKRI merupakan negara dan bangsa yang bertatanilai peradaban tinggi, berideologi universal (Pancasila), dan berperanan dalam ‘tata pergaulan dunia’.  Dengan demikian, nilai-nilai Indonesia merupakan suatu idealisme yang bernilai luhur dan paripurna untuk kepentingan bernegara dan berbangsa.  Maknanya, bahwa menjadi Indonesia akan memiliki nilai-nilai lebih luhur dibanding nilai-nilai azali sukubangsa dan etnis.

Meng-Indonesia berarti membangun kesadaran untuk berintegrasi secara tuntas kepada Indonesia.  Integrasi tuntas bukan dimaksud sebagai menafikan dan meninggalkan tatanilai budaya dan peradaban unsur-unsur.  Juga bukan sebagai ‘genocyde’ terhadap unsur-unsur yang tertinggal dalam peradaban.  Namun merupakan upaya membangun ‘kesetaraan’ antar unsur sebagai prasyarat mutlak berdirinya Indonesia sebagai negara dan bangsa modern yang berkesejahteraan sosial.  Adalah misteri Illahi, bahwa kenyataannya Indonesia bisa diberdirikan meskipun unsur-unsur pembangunnya berasal dari unsur terjajah dan sebagian masih tertinggal dalam peradaban (primitif).

            Kita semua sadar bahwa nilai-nilai budaya dan peradaban azali sukubangsa atau etnis kita sering menjadi kendala dalam proses meg-Indonesia.  Setidaknya, dalam relung batin kita masing-masing sering merasa ‘kehilangan’ identitas suku dan etnis ketika ‘wajib’ berubah menjadi Indonesia.  Kita semua selalu merasa nilai-nilai azali sukubangsa dan etnis masing-masing sebagai nilai-nilai yang paripurna, terbaik.  Padahal, kenyataan yang harus diingat, bahwa nilai-nilai azali sukubangsa dan etnis yang kita anggap luhur sudah usang, jumud, dan tak sanggup melawan penjajahan.  Ambil contoh tentang nilai-nilai budaya dan peradaban Jawa yang selalu dianggap adiluhung, pada kenyataannya justru Jawa adalah unsur Indonesia yang paling intensif terjajah Belanda dan Jepang.  Maka, maaf pemakalah adalah orang Jawa, berani beranggapan bahwa tatanilai budaya dan peradaban Jawa termasuk usang dan jumud hingga perlu direvitalisasi agar bisa dipersembahkan kepada Indonesia dan kemaslahatan umat manusia.  Wacana revitalisasi nilai-nilai budaya peradaban Jawa dan unsur-unsur Indonesia yang lain mungkin perlu diseminarkan atau diagendakan dalan sarasehan tersendiri.

            Dalam banyak kesempatan bersarasehan ataupun berdiskusi, pemakalah sering menyatakan bahwa Indonesia bisa kita ibaratkan sebagai ‘tabung reaksi’ yang memproses berbagai unsur (sukubangsa dan etnis) untuk melebur menjadi suatu senyawa (kesatuan) baru, bangsa Indonesia.  Proses peleburan untuk menghasilkan Indonesia butuh waktu dan perjuangan dari seluruh rakyat Indonesia. 

Atas dasar pengertian bahwa pada jiwanya rakyat Indonesia telah tersemaikan ‘wiji spiritual Indonesia’, maka sesungguhnya pada jiwa rakyat sudah memiliki kehendak bersama untuk bersatu sebagai bangsa.  Namun kenyataan, banyak elit unsur-unsur yang oleh kepenting individualnya berusaha memanipulasi ‘kehendak suci’ warga unsusr-unsur meng-Indonesia itu untuk ‘mbalela’.  Pemanipulasian tersebut mewujud dalam berbagai kemasan palsu.  Diantaranya, berupa pengingkaran dan ‘penguburan’ ideologi Pancasila untuk diganti ideologi lain.

 

 

 

Older Posts »

Kategori